Rabu, 29 September 2010

just for you

Just For You

by Vivi Lutfi Alfiani on Monday, November 2, 2009 at 2:08pm
“ Ber-Tanah Air Satu, Tanah Air Indonesia, Ber-Bahasa satu, Bahasa Indonesia”.
Hanya kutipan itu yang dapat Ku ingat jika ada seseorang bertanya tentang Sumpah Pemuda.
Waktu itu Aku sedang belajar, tepatnya jam pelajaran sejarah. Guru Ku membahas mengenai Sumpah Pemuda. Ketika Aku sedang terlarut dalam obrolan sembunyi-sembunyi Ku dengan teman sebangku Ku Alisya, tiba-tiba Ku dengar Guru Ku memenggil nama Ku dengan nada sedikit tinggi.
“Lufi!, dari tadi kamu tidak memperhatikan materi yang sedang Saya terangkan, sekarang tolong jawab, apa itu Sumpah Pemuda?!”.Tanya Guru Ku dengan suara bernada kesal dan lengkap dengan logat bataknya.
“Mm… Sumpah Pemuda adalah sumpah yang di lakukan pemuda pemudi Indonesia pada 28 oktober tahun…” karena tadi Aku tidak memperhatikan Guru Ku menerangkan materi ini, jadi Aku tidak dapat melanjutkan jawaban Ku. Tiba-tiba Guru Ku yang bernama Bu Jamilah memotong jawban yang sedang aku ucapkan.
“ Tahu berapa Lufi?”. Tanya Bu Jamilah mengulangi pertanyaannya.
“ Ta…tahun..” Belum sempat jawaban Ku selesai, Ia tiba-tiba memberi Ku pertanyaan baru.
“ Mengapa merek melakukan sumpah itu?”. Pertanyaan baru dari Bu Jamilah.
Untung saja Aku dapat mengarang jawaban untuk pertanyaan yang satu ini, jadiAku memberikan jawaban,
“ Mereka melakukan Sumph pemuda sebagai wujud rasa nasionalisme, patriotisme, serta sebagai wujud rasa cinta mereka kepada Tanah Air Indonesia”.
“ Lalu bagaimana wujud rasa cinta Anda kepada Tanah Air?”. Tanya Guru Ku kembali.
Pertanyaan-pertanyaan yang di berikan Guru Ku , bagi Ku seakan petir yang tak henti-hentinya menyambar-nyambar alam fikiran Ku. Aku pun terdiam. Semuanya seakan menjadi hening. Bingung, ketidaktahuan , dan rasa penyesalan karena tadi tidak memperhatikan materi yang sedang di terangkan oleh Bu Jamilah membuat mulut Ku bungkam seketika, dan seakan terkunci dengan sangat rapat. Yang terbayang di fikiran Ku adalah, apa?,apa yang selama ini sudah aku lakukan??dan, apa? Apa,yang nanti dapat Ku lakukan untuk semua orang-orang yang aku sayangi, dan tentunya untuk Tanah Air Ku.
Aku sadar, ternyata, selama ini Aku hanya hidup untuk diri Ku sendiri. Tak pernah sepertinya aku benar-benar memikirkan kehidupan orang lain. Bagaimana dengan kehidupan Tanah Air Ku? Rasanya, hal itu tak pernah terfikir, hanya untuk melewat di fikiran Ku saja rasanya hal itu tidak pernah sedikit pun terlintas. Semuanya seakan-akan campur aduk di dalam otak Ku. Guratan-guratan segala hal yang pernh Aku lakukan di kehidupan masa lalu, seketika muncul kembali. Seakan-akan semua orang yang ada di kehidupan Ku meninta pertnggung jawaban atas segala hal yang pernah Ku perbuat.
Tiba-tiba, Ku dengar kembali suara perempuan berlogat batak memanggil-manggil Ku.
“ Lufi! Lufi!! Lufi!!!”.Seakan terdapat tingkatan di setia bunyi suara itu, dari tingkat nada terendah hingga ke tingkat nada paling tinggi.
Karena kaget, mulut Ku dengan otomatis menjawab “Ia, ia Bu, otak sya masih loading”.
Karena Aku menjawab dengan suara yang cukup keras, teman-teman Ku dengan serentak tanpa di mando tertawa terbahak bersamaan. Ibu Jamilah pun memerintahkan Ku untuk ke toilet.
“ Lufi, melamunkan apa kau ini? Cuci muka kau agar fikiran kau itu jernih kembali”.
Aku pun mengikuti perintah yang di berikan Bu Jamilah. Ketika sedang di toilet, Ku dengar lonceng pertanda waktu sekolah sudah habis berbunyi, namun Aku sengaja tak cepat-cepat kembali ke kelas. Ketika hendak ke kelas, Ku lihat Alisya sangat kerepotan membawakan tas Ku yang memeang berat.
“ Lama banget ke toiletnya? Ketiduran ya?”. Tanya Alisya dengan suaranya yang bernada menyindir dan sedikit tertawa.
“ Bu Jamilah nitip primbon but kamu.”
“ Primbon?”
“ Alisya, ingatkan si Lufi teman Mu itu, jangan banyak mengobrol dan melamun ketika sedang belajar. Tak bagus itu!”. Alisya menirukan ucapan guru Ku, lengkap dengan logat batak Guru Ku itu. Mendengar Alisya berbicara dengan daya seperti itu, Aku pun tertawa terbahak-bahak. Bahkan jika ingat tentang hal itu Aku terkadang tertawa sendiri.
Jam 14.45, aku sampai di rumah Ku. Sesampainya di rumah, Aku langsung tidur-tiduran di ranjang kamar Ku. Karena lelah, Aku pun tertidur.
“ Pantas saja nilai ulangannya do, re, mi begini, bisanya Cuma main dan tidur”. Mendengar perkataan itu, mata Ku langsung terbangun. Ups… Ayah Ku berhasil menemukan nilai ulangan yang Aku sembunyikan.
“ Apa-apaan kamu ini? Sekola ga benar! Cuma bias permaluin orang tua di depan Guru kamu saja. Lihat teman kamu Renia, dua bias jadi juara umum di sekolahnya, padahal dulu nilai dia gak pernah lebih baik dari Kamu! Lalu Kamu, apa? Gimana bisa Kamu ngikutin jejak saudara Kamu Elena untuk dapat PMDK ke IPB kalau nilai-nilai Kamu warna-warni kaya pelangi begini!”. Setelah selesai mengeluarkan segala petuahnya, Ayah Ku keluar dari kamar Ku.
Sudah jatuh ,kini tertimpa tangga pula. Tapi sepertinya peribahasa itu kurang tepat untuk Ku. Maka Aku ganti peribahasanya menjadi sudah jatuh tertimpa rumah rubuh pula. Akhh.. aku memang salah.
Aku pun tiba-tiba teringat akan saudara Ku Elena. Ia terlahiar dari keluarga yang kurang mampu. Namun semangatnya untuk seklah sangat tinggi, dan ibunya pun sangat bersemangat untuk menyekolahkan Elena dan adik-adiknya walaupun Ibu Elena harus berjuang dengan bekerja begitu kerasnya.
Dari kelas 1-6 SD Elena selalu mendapat peringkat 1 di sekolahnya. Lalu kelas 7-9 SMP rankingnya 2,1,1.dan nilai UAN-nya 29,5 (Nilai Matematika 10, B.Indonesia 9.5 dan B.Inggris 10). Lalu Ia mendapat beasiswa di salah satu SMA pavorit di Bandung. Atas prestasinya yang baik, Elena mendapat PMDK ke IPB.
Elena adalah orang yang sederhana, Ia tak pernah minder dengan kedaannya, walaupun ia bersekolah di lingkungan orang-orang berkelas. Ia tak pernah meninggalkan kewajibannya sedikitpun. Aku bingung kenapa otaknya sangat cerdas, padahal jika di lihat, kesempatan Elena untuk belajar sangat sempit. Sepulang sekolah, ia harus mengerjakan pekerjaan rumahnya yang sangat menumpuk, menjaga adik, dan paling ia bisa belajar di malam hari dengan penerangan seadanya.
Elena pergi ke sekolahnya dengan berjalan kaki. Sehari ia hanya di beri uang jajan lima ribu saja. Untuk transport saja masih jauh dari cukup. Jadi Ia membawa bekal ke sekolah,pulang pergi berjalan kaki, dan uang itu Ia tabung untuk keperluan sekolahnya. Tas, sepatu, buku paket pelajarn, semua itu turun temurun dari kakaknya. Walau begiyu, semangatnya untuk sekolah sangat besar, Ia adalah seorang anak yang menyayangi keluaganya, terutama ibunya, dan tak pernah sedikitpun Ia mengeluh atas kehidupan yang Ia jalani.
Kini Ia mendapat balasan atas segala kerja kerasnya dan kesabarannya. Ia kini sedang berjalan menuju kesuksesannya. Dan akhirnya, kini Aku dapat menemukan jawaban dari pertanyaan tadi siang. Aku ingin menjadi seorang anak bangsa yang baik untuk Tanah Air Ku. Aku harus memiliki semangat, kerja keras, dan kesabran seperti Elena, bahkan jika Aku bisa, Aku harus lebih bersemangat dari semangat yang di tunjukan Elena. Aku harus menjadi anak berprestasi, aku harus mempersembahkan prestasi itu untuk mengharumkan nama orang tua dan Tanah Air Ku , walau pun Prestasi yang Aku lakukan hanyalah prestasi kecil. Tunggu, dukung Aku, do’akan Aku, dan lihatlah aku, Aku akan dapat menggapai dan mewujudkan mimpi Ku untuk kalian semuanya, Ibu, Ayah, saudara-saudara,teman-teman dan untuk Mu Tanah Air Ku…….